Kolektivitas Agribisnis Kopi di Desa Pusakamulya (bagian 2). Dua latar belakang masalah
![]() |
Petani Kopi di Desa Pusakamulya |
Sehingga dalam pencapaian tujuan dalam sebuah lingkaran sosial masyarakat bisa kita tempuh dengan dua cara.
Kolektiva, yang identik dengan kebersamaan dalam pencapaian tujuan.
Sedangkan individualita adalah usaha mencapai tujuan dengan cara yang lebih individualistis.
Tidak disarankan salah satunya, semua tergantung pada selera masing-masing individu dalam sebuah lingkup sosial masyarakat.
Kedua-duanya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Tinggal bagaimana kita menyikapinya, yang jelas tidak boleh kita ‘bertopeng’ kolektiva padahal sebenarnya kita ingin menguasai secara individu.
Dua tantangan utama
Bicara masalah sosial pertanian di Desa Pusakamulya, pengalaman dua periode, atau empat menjadi ketua sebuah kelompok tani menyisakan dua permasalahan utama.Pertama, keterbatasan lahan. Secara pukul rata, kepemilikan lahan pertanian anggota Barong Mulya adalah 0,5 Ha per Kepala Keluarga.
Bahkan ada yang hanya 0,3 Ha disamping ada yang memiliki lebih dari 1 Ha.
Kebanyakan anggota Kelompok Tani Barong Mulya memiliki lahan untuk bertani seluas di bawah 1 Ha.
Untuk mengembangkan usaha tani hingga mencapai minimal kelayakan ekonomi mungkin masih bisa diusahakan dengan cara ‘Small scale agriculture’.
Yang termasuk pertanian skala kecil ini contohnya adalah usaha sayuran hidroponik yang dikembangkan oleh beberpa pemuda-pemudi tani.
Mereka menanam sayuran di polybag, piva, bambu atau paltik limbah rumah tangga, kemudian menjual hasilnya dengan kemasan yang baik.
Tetapi, budaya kehidupan para anggota Barmoel yang agak sulit untuk mengikuti cara ‘urban farming’ tersebut.
Proses produksi dengan skala kecil kemudian mengemas dan memasarkannya dengan cara-cara baru.
Terkadang melibatkan teknologi informasi, seperti media sosial.
Memang, anggota Barmoal beberapa ada yang masih muda, tetapi kecakapan dalam teknologi dan informasi masih dibawah para anggota Hidata misalnya.
Oleh karena itu, perlu terobosan tertentu untuk memecahkan permasalahan ‘keterbatasan lahan’ tersebut.
Kedua, adalah permasalahan regenerasi petani. Tadi sempat disebutkan bahwa di Barmoel juga ada petani muda.
Tapi polanya sebelas-dua belas dengan petani tua di sekitarnya.
Tidak bisa dipungkiri, jika Barmoel memimpikan munculnya terobosan dari para pemuda dalam menjalankan usaha pertanian.
Tetapi jangankan terobosan, minat pertanian dari pemudanya saja belum begitu baik.
Ini permasalahan kedua setelah permasalahan keterbatasan lahan.
Munculnya Himpuanan Pemuda Tani (Hidata) membuat saya sangat senang bukan kepalang.
Cara-cara mereka bertani hingga melakukan syi’ar pertanian benar-benar unik dan jitu.
Saya sempat ke Desa Taringgul Tengah, untuk menemui ketuanya, yang bernama Budiman.
Namun informasi dari Pemerintah Desa Taringgul Tengah menyatakan Beliau sudah mendapat ‘Surat Pindah’ ke Desa Babakan.
Solusi
Solusi dari dua permasalahan tadi, yaitu keterbatasan lahan dan re-generasi petani, adalah Perhutanan Sosial.Munculnya Program Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membawa angin segar bagi Barmoel.
Program tersebut memungkinkan petani di sekitar hutan mendapat legalitas atas lahan garapan di hutan yang dimiliki negara, biasanya hutan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani.
Saat program ini disosialisasikan kepada para anggota Barmoel, para anggota sepuh (tua) tidak meresponnya dengan antusias.
Kebanyakan dari mereka (petani sepuh) berujar, “Sok weh nu ngarora, kolot mah di lembur ge geus ripuh / Silakan yang muda, kami garap yang ada saja sudah kewalahan,”
Apalagi ketika diajak untuk mengembangkan komoditas kopi, mereka enggan.
Lebih memilih komoditas yang saat ini sudah berjalan seperti teh, cengkeh, manggis dan padi.
Alhasil, saat para petani muda dari Barmoel yang dikomandani oleh Asep Rahmat Saleh Setiaji (Za’enx) kini terlibat dalam pengembangan komoditas kopi arabika di Gunung Burangrang dengan lahan per KK maksimal 2 Ha.
Maka, untuk sementara ini dua permasalahan sudah mandapat solusi, petani muda kembali bertani dengan perolehan lahan maksimal 2 hektar. (enjs)